Latest Entries »

Kamis, 30 Maret 2017

Analisa Kriminalitas Perkotaan di Semarang dengan GIS


Urbanisasi dengan perkembangan kota adalah dua aspek yang saling berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan dimana keduanya merupakan faktor penyebab terjadinya kawasan perkotaan. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU Penataan Ruang No.26 tahun 2007). Dalam konteks perkembangan kawasan perkotaan, posisi urbanisasi sebagai dampak dari perkembangan ekonomi muncul sebagai salah satu faktor pertambahan penduduk serta perkembangan kegiatan masyarakat. Perkembangan suatu kota menyangkut beberapa aspek, antara lain aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik (Yunus, 2000:107). Tingkat urbanisasi yang tinggi diikuti dengan semakin banyaknya jenis aktivitas dan kebutuhan ruang. Dengan adanya tuntutan kebutuhan ruang serta aktivitas yang kompleks dan mendesak maka hal tersebut menjadi penyebab perkembangan kota.
Dampak lain dari urbanisasi mendorong meningkatnya kejahatan, karena kejahatan biasanya terjadi di kota besar dan di daerah urban (Krivo dan Peterson, 1996). Di daerah pedesaan, karena kepadatan penduduk yang lebih rendah, pelaku kriminal memiliki sedikit kesempatan untuk menyembunyikan diri karena orang saling mengenal. Fakta-fakta utama kejahatan di perkotaan yang kemungkinan lebih sedikit adalah dari penangkapan, penindakan dan pengakuan (Glaeser dan Sacerdote, 1996). Oleh karena itu bahwa dengan meningkatnya urbanisasi begitu juga kejahatan (Galvin dan Gaviria, 2002). Urbanisasi lebih merupakan indikator meningkatnya kejahatan yang lebih tinggi, dan ini secara umum banyak terjadi di kota-kota di dunia. Fenomena umum di dunia tingkat ekspansi penduduk perkotaan terus meningkat karena pembangunan industri besar. Pada tahun 1950, 30% dari populasi dunia tinggal di daerah perkotaan, pada tahun 2000, nilai ini mencapai 47%, diperkirakan bahwa angka ini akan mencapai 60% pada tahun 2030 (Gumus, 2004). Peningkatan kejahatan sebagai bentuk dari urbanisasi selain disebabkan oleh faktor ekonomi juga dipengarui faktor demografi dan sosial perkotaan.
Perkembangan kota akibat urbanisasi diikuti beberapa gejala, diantaranya adalah segregasi atau segmentasi kota(Casmini, 2010). Segegrasi atau segmentasi kota yaitu pemisahan kelompok atau golongan dalam masyarakat oleh karena sebab tertentu berdasarkan kesamaan kepentingan yang dirasakan oleh kelompok yang bersangkutan. Tergesernya penduduk lama oleh penduduk pendatang  dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi menyebabkan penyebaran kantong-kantong disparitas ekonomi dan sosisal secara keruangan. Hai ini juga memiliki kapasitas untuk mengurangi kohesi sosial suatu daerah, karena pengenalan yang berbeda kelompok sosial-ekonomi(Ratcliffe, 2005).
Fenomena yang dijelaskan diatas merupakan bentuk perubahan struktur sosial dan struktur fisik dari suatu lingkungan dimana lingkungan dapat menimbulkan kejahatan (Adang, 2010). Aspek demografi, sosial, budaya dan ekonomi merupakan aspek yang akan berubah dinamis seiring dengan perubahan struktur sosisal dan ekonomi. Salah satu akibat negatif adalah meningkat.nya angka kriminilatis yang terjadi sebagai akibat banyaknya pengangguran diperkotaan (www.economy.okezone.com/). Urbanisasi mendorong adanya tingkat heterogen penduduk perkotaan semakin meningkat, menjadi faktor mendorong meningkatnya tindak kriminal (DK Halim, 2008), masyarakat yang memiliki keanekaragaman etnis dan golongan tinggi cenderung lebih rentang terhadap konflik sosial yang berpengaruh ke dalam keamanan publik daripada masyarakat yang homogen (Easterly, 2001)




Keamanan publik yang dipengaharui oleh ukuran tindak kriminalitas/ kejahatan tidak bisa terlepas dari pengaruh ruang dan waktu (Adang, 2010). Menurut Permen PU no.20  tahun 2007 tentang pedoman rencana tata ruang diperlukan analisa terkait dengan kriminalitas, karena tingkat kriminalitas suatu wilayah akan sangat mempengaruhi perencanaan pengembangan wilayah tersebut, karena semakin tinggi tingkat kriminalitas suatu daerah maka semakin sulit untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu. Sebagai contoh Indonesia merupakan negara yang sampai dengan saat ini belum memiliki ketentuan ataupun standar yang berkaitan dengan upaya untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kriminalitas dalam ketentuan penataan ruang. Padahal angka kriminalitas di Indonesia meningkat pesat setelah terjadinya krisis, gejala ini diikuti dengan peningkatan jumlah angka kemiskinan, sebelum terjadi krisis angka kemiskinan menurun 60% sampai dengan tahun 1970 dan 11% sampai dengan tahun 1997 (Bandoro, 2005). Gejala seperti ini menjadi masalah serius karena kondisi keamanan di suatu perkotaan akan menentukan tingkat pertumbuhan pembangunan, sehingga perencanaan keruangan perlu memfasilitasinya.

Perencanaan keruangan dalam bentuk produk-produk tata ruang befungsi untuk mengharmonisasi antara aktivitas dengan ruang. Dengan adanya perencanaan keruangan diharapkan dapat meminimalisir dampak-dampak negatif yang timbul, tentunya dengan memperhatikan seluruh aspek fisik dan non fisik secara komprehensif. Dalam upaya menciptakan pembangunan untuk kesejahteraan sosial, aspek sosial yaitu kriminalitas menjadi penting untuk difasilitasi dalam perencanaan keruangan (Mustofa, 2010). Bentuk analisis yang menyeluruh dalam segala aspek yang diamanatkan dalam tata ruang seharusnya menjadi pedoman dalam penyusunan produk-produk perencanaan keruangan di kota-kota di Indonesia. 
Peta Administrasi Kota Semarang


0 comments:

share page

Bookmark and Share

translete this page

Cari Blog Ini